piccolopetesrestaurant.net, Kertas Daluang Warisan Sunyi dari Tanah Yogyakarta! Saat dunia ramai menari di atas layar di gital, ada satu benda di am yang tetap bersuara dengan caranya sendiri. Ia bukan elektronik, bukan benda canggih, dan tidak berisik. Namanya kertas daluang. Ia tak hadir dengan sorotan lampu, tapi menyimpan kisah yang berlapis, dalam di am yang panjang.
Dibuat dari pohon saeh, daluang bukan sekadar lembaran putih. Ia adalah warisan yang masih berdegup di dalam lorong waktu Yogyakarta. Meski kini nyaris tenggelam oleh tumpukan mesin cetak dan kertas modern, ia masih bertahan. Tidak keras kepala, tapi setia. Dan itulah kenapa daluang bukan cuma kertas ia adalah napas sunyi dari masa yang enggan punah.
Aroma Tangan, Bukan Mesin
Yogyakarta tak kekurangan warisan. Tapi daluang berbeda karena ia menyerap peluh. Ia lahir dari tangan, bukan cetakan. Prosesnya bukan sehari dua hari. Kulit pohon saeh di pukul, di rendam, di pipihkan, di jemur, dan di satukan dalam ritual hening yang nyaris tak berubah sejak abad ke-13. Bukan tanpa alasan para pujangga terdahulu menulis naskah-naskah besar di atasnya.
Kesan awal saat melihatnya mungkin sederhana. Warnanya tak seputih kertas biasa, teksturnya juga tak semulus buatan pabrik. Namun justru di situlah letak magisnya. Setiap helai daluang seperti menyimpan denyut waktu. Tak ada dua lembar yang benar-benar serupa. Seperti sidik jari manusia, daluang punya identitas yang unik.
Saat tangan menyentuhnya, terasa ada ikatan. Seolah sejarah sedang berbicara pelan, menyingkap cerita tanpa suara. Maka tidak mengherankan jika para kolektor manuskrip dan peneliti budaya menjadikannya primadona sunyi yang tak tergantikan.
Tulisan Tak Hanya Sekadar Tulisan
Di balik banyaknya naskah kuno yang di temukan di Kraton Yogyakarta, mayoritas di tulis di atas daluang. Bukan hanya karena ketahanannya yang luar biasa, tetapi juga karena nilai sakralnya. Menulis di atas daluang tidak bisa sembarangan. Ada rasa tanggung jawab di setiap goresan tinta. Ada doa, ada rasa hormat, dan tentu ada makna.
Kertas biasa mungkin bisa di ganti kapan saja. Tapi daluang menyimpan waktu. Saat naskah di tulis, ia langsung menyatu dengan sejarah. Ia tak bisa di pisahkan dari isinya. Menyentuh daluang sama saja seperti menyentuh isi pikiran zaman dahulu.
Kini, daluang masih di gunakan dalam upacara adat, pameran budaya, hingga proyek restorasi naskah. Tak banyak, memang. Tapi justru itu yang membuatnya istimewa. Karena sesuatu yang langka, akan selalu lebih berharga dari yang umum.
Bertahan Lewat Pelestari Sunyi
Di Dusun Taruban, Gunungkidul, masih ada pengrajin daluang yang merawat tradisi ini dengan penuh kesabaran. Tak banyak yang tertarik meneruskannya. Sebab prosesnya panjang dan tak menjanjikan keuntungan besar. Namun mereka tetap bekerja. Bukan demi ketenaran, tapi demi warisan yang harus tetap bernapas.
Para pembuat daluang bukan hanya pengrajin, mereka seperti penjaga gerbang masa lalu. Di balik tiap ayunan pemukul serat, mereka menghidupkan kembali sepotong sejarah yang bisa saja hilang jika tak di rawat. Dan meski dunia makin cepat bergerak, mereka memilih tetap lambat karena bagi daluang, keabadian tak pernah terburu-buru.
Beruntung, beberapa komunitas seni dan lembaga budaya mulai melirik kembali nilai luhur dari kertas ini. Daluang di ajak naik panggung lagi, meski perlahan. Ada harapan bahwa ia tidak hanya menjadi koleksi museum, tapi bisa kembali di gunakan sebagai medium kreatif, bahkan di era di gital sekalipun.
Kesimpulan
Kertas daluang bukan sekadar peninggalan, tapi perlawanan di am terhadap zaman yang serba cepat. Ia tak berteriak, tapi hadir dengan kekuatan tenang yang tak tergoyahkan. Dari tangan pengrajin hingga lembaran naskah kuno, daluang sudah membuktikan bahwa kesunyian pun bisa bertahan ratusan tahun.
Yogyakarta, dengan segala hiruk-pikuknya, masih menyisakan ruang untuk yang di am tapi bermakna. Dan daluang, kertas yang tak mudah di makan usia, adalah buktinya. Bila kita masih peduli pada akar budaya, maka daluang layak di rawat. Bukan sebagai benda mati, tapi sebagai teman yang pelan-pelan bercerita lewat aroma pohon saeh, tekstur lembutnya, dan kisah-kisah yang di tuliskan di atasnya.